The Jakarta
Post edisi Jumat, 4 Juli 2014, secara mengejutkan tiba-tiba memuat sebuah tajuk
diluar perkiraan pembacanya. Tulisan berjudul “Endorsing Jokowi” adalah mengungkapkan dukungan koran tersebut
terhadap pencalonan Jokowi menuju RI-1.
Pemimpin Redaksi The Jakarta Post
Meidyatama Suryodiningrat memiliki alasan atas pengambilan sikap pemihakan
tersebut. Dia mengatakan, Jokowi dianggap lebih memiliki nilai-nilai pluralisme,
tidak memiliki masalah hak asasi manusia (HAM), mendukung perbaikan masyarakat
sipil, dan setia pada semangat reformasi.
Sontak
sikap ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bagaimana mungkin sikap
resmi redaksi tidak berpengaruh pada pemilihan fakta di berita lain? Betulkan
sikap memilih Jokowi-JK tidak memiliki kepentingan selain yang di kemukakan
Pemred Meidyatama Suryodiningrat? Betulkan The Jakarta Post tidak mendapat
apa-apa? Dan masih banyak tentunya pertanyaan di belakang sikap tersebut.
Dikalangan
penggiat jurnalisme dikenal doktrin, bahwa media boleh bersikap melalui opini
(bukan factual) yang tertera di rubric editorial atau tajuk rencana. Sebagai
sebuah sikap resmi institusi, maka orang per orang atau wartawan mau tidak mau
terikat dengan sikap organisasi tersebut (kecuali sudah tidak betah bekerja
….). tidak mungkin sikap redaksi mendukung Jokowi-JK tetap di berita atau opini
yang ada menulis tentang keburukan atau
mencantumkan sesuatu yang buruk dari Jokowi-JK. Begitu juga sebaliknya
dengan penulisan The Jakarta Post untuk kubu Prabowo-Hatta.
Menurut
pakar komunikasi Ibnu Hamad, ada tiga strategi yang di gunakan media untuk
membuat wacana. Yaitu; Signing, Framing dan Priming. Signing adalah penggunaan
bahasa, baik verbal maupun non-verbal. Framing adalah pemilihan wacana
berdasarkan pemihakan dalam berbagai aspek wacana. Sedangkan Priming berarti
mengatur ruang atau waktu untuk mempublikasikan wacana di hadapan khalayak.
(Ibnu Hamad, Komunikasi sebagai Wacana, La Tofi Enterprise, Jakarta,
2010:49-71).
Dengan kata lain, The Jakarta Post pun
melakukan hal yang sama terhadap sikap mendukung Jokowi-JK tersebut. Ia
menggunakan framing, priming and signing. Tidak ada dukungan tanpa syarat.
Walaupun
masih perlu di perdebatkan, Ashadi Siregar (Ashadi Siregar, Peneliti Media dan
Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta, Kompas, 11 Agustus 2014), membela
sikap The Jakarta Post tersebut sebagai media partisan. Media simpatisan
memihak tetapi juga memuat berita tentang kompetitornya. Artinya, The Jakarta
Post memihak Jokowi-Jk tetapi juga memuat berita tentang Prabowo-Hatta.
Sedangkan media partisan, menurut Ashadi, sama sekali tidak memberi ruang bagi
kompetitor. Bahkan, menjelek-jelekan lawannya, seperti yang di lakukan
tabloid Obor Rakyat.
“Keberpihakan
ini di satu sisi dengan memberi tempat total kepada yang di pihaki, di sisi
lain tak memberi tempat ke kompetitor. Atau kalau memberitakan kompetitor
secara tendensius bersifat negative, tanpa narasumber dari pihak yang
diberitakan,” “Karena itu, disebut kampanye gelap. Asas keseimbangan dan
ketidakberpihakan yang jadi ciri netralitas dalam kerja jurnalisme tak lagi di
hormati”.
Sekali
lagi etika jurnalistik – karena hasil kreasi manusia – masih perlu di
perdebatkan, termasuk keberpihakan terhadap kandidat tertentu dalam kontestasi
politik. Bahkan, etika dalam beberapa perspektif tegantung yang mempergunakan.
Secara filosofis, jurnalisme harus tetap
berpijak pada prinsip kebenaran indepedensi, check and balance, cover all
(multi) sides, verifikasi fakta, dan keberpihakan pada yang lemah. Etika
jurnalisme berfungsi untuk menjamin media memproduksi jurnalisme yang
berkualitas dan publikpun mendapat informasi yang sehat dan mencerahkan.
Dalam berita di atas tadi, ditemukan beberapa
pelanggaran kode Etik jurnalistik yang dilakukan oleh pemimpin redaksi dalam
memuat berita. Pemimpin redaksi/wartawan melanggar Pasal 1 yang berbunyi,
“Wartawan Indonesia berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad, akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Dalam memuat berita, wartawan tidak
menghasilkan berita yang akurat, tidak berimbang karena dalam membandingkan
seseorang tidak di cantumkan kelemahan dan kelebihannya, melainkan melebihkan salah satu kandidat Capres dan
menjatuhkan salah satu kandidat Capres lainnya. Tentu tujuan pemberitaan ini
sangatlah beritikad buruk.
Berarti, adakah etika jurnalisme di negeri ini?
Pesimistis (ragu-ragu).
Komentar
Posting Komentar