Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23/2002.
Media sebut ini sebagai Perppu Kebiri. Sebutan media itu tidak salah karena
perppu yang di tandatangani Presiden Jokowi pada 25 Mei 2016. Peraturan ini
berlaku sejak di tandatangani, mengadopsi hukuman mati dan pidana tambahan
kebiri dan pemasangan cip. Pidana tambahan kebiri itu menuai kontroversi karena
berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Selain ada yang kontra, ada juga
yang mendukungnya.
Komisi Nasional HAM menilai
pengebirian melanggar HAM. Pengebirian bukan solusi atas maraknya pemerkosaan.
Meskipun hukum harus menimbulkan efek jera, hukum tidak boleh melanggar prinsip
kemanusiaan. Pendapat senada disampaikan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap
Perempuan
Perppu kebiri dibuat seperti
terburu-buru dan cenderung reaktif. Pemberatan hukum dan penetapan pidana
tambahan yang tidak lazim mempersyaratkan sistem peradilan yang bersih. Apakah
peradilan kita sudah bersih dan mampu menegakkan itu? Namun, nyatanya, perppu
itu telah menjadi fakta hukum dan politik. Konstitusi memberikan hak kepada
Presiden untuk menerbitkan perppu dalam hal terjadi kegentingan memaksa.
Apa itu kegentingan memaksa,
Mahkamah Konstitusi (MK) memberi penafsiran adanya kebutuhan mendesak
menyelesaikan masalah hukum secara cepat; undang-undang tersebut belum ada
sehingga terjadi kekosongan hukum; kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan
cara membuat undang-undang prosedur biasa karena keadaan mendesak itu
membutuhkan penyelesaian segera.
Tafsir kegentingan memaksa dari
Presiden saat mengeluarkan perppu akan diuji DPR. Jika mengonfirmasi
kegentingan memaksa, apa pun rasionalitasnya, Perppu No. 1/2016 itu akan
menjadi undang-undang. Ruang terbuka menguji konstitusionalitas perppu itu
adalah membawa Perppu No. 1/2016 ke MK.
Kita memandang pengenaan pidana
tambahan dengan kebiri dan pemasangan cip dalam Perppu No. 1/2016 bukanlah
solusi atas maraknya pemerkosaan. Perppu itu belum menyentuh causa prima
terjadinya pemerkosaan yang boleh jadi adalah karena cara pandang yang tidak
seimbang seorang lelaki terhadap perempuan. Perppu itu pun tak menyentuh
penyebab terjadi pemerkosaan, seperti maraknya pornografi dan kurangnya kita
memberikan pendidikan seksualitas. Perppu itu reaktif di akhir tanpa melihat
faktor penyebab dan mempertimbangkan korban.
Komentar
Posting Komentar